Dewasa
ini, dunia dan khusunya Pemerintah Indonesia terus berinovasi untuk
menghasilkan energi berkelanjutan yang ketersediaanya selalu ada dan tentu saja
lebih bersih. Salahsatu energi berkelanjutan yang saat ini banyak
diimplementasikan adalah energi yang berasal dari campuran minyak sawit. Minyak
sawit dipilih karena satu hektar kelapa sawit dapat menghasilkan hampir 6.000
liter minyak mentah, sebagai pembanding, kedelai dan jagung hanya menghasilkan
sekitar 446 dan 172 liter per hektar
Biodiesel/biosolar
merupakan penerapan utama dari minyak sawit sebagai energi. Kandungan Fatty Acid Methly Ester (FAME) dari
minyak sawit menjadi sumber utama dalam pembuatan biodiesel. Dalam negeri, PT.
Pertamina menghadirkan beberapa variasi produk biodiesel seperti B20 dan B30
Terbaru,
inovasi Sustainable Aviation Fuel
(SAF) yang dilakukan oleh maskapai Airbus yang menggunakan campuran minyak
goreng dari minyak sawit. Pesawat yang digunakan adalah Airbus tipe A380
merupakan pesawat penumpang terbesar didunia. Untuk pertama kalinya pesawat
terbang menggunakan minyak goreng dan buangan lemak. Pesawat ini terbang selama
3 jam dan diestimasikan mengurangi 53-71% emisi karbon dari bahan bakar pesawat
pada umumnya
Sebagai
contoh kalkulasi perbandingan antara diesel dan biodiesel dari segi rasio emisi
dan harga pasaran serta pajak karbon. Harga biodiesel adalah Rp 14.436 dan
diesel Rp. 12.950. Kebutuhan solar/diesel untuk produksi dan pembangkit listrik
di Indonesia sebesar 8,4 miliar liter
Hal
lain yang perlu dipertimbangkan lainnya adalah dampak langsung dilingkungan. Dampak
langsung dilingkungan dengan penggunaan minyak sawit ini adalah semakin luasnya
perkebunan sawit yang kita semua tau bahwa mengorbankan hutan secara biotik
maupun abiotik. Sebuah studi tentang deforestasi yang disebabkan oleh ekspansi
kebun kelapa sawit setidaknya mencatat bahwa pada periode 1995-2015,
deforestasi akibat perkebunan sawit mencapai rata-rata 117.000 hektare per
tahun dan sekitar 3,4 juta ha atau 20,2% dari luas total kebun kelapa sawit di
Indonesia berada di dalam kawasan hutan
Terakhir,
faktor utama mengapa minyak sawit bukan merupakan solusi energi berkelanjutan
adalah karena memiliki bahan baku yang langka. Hal ini disebabkan minyak sawit
juga merupakan bahan baku pembuatan minyak goreng. Saat ini Indonesia mengalami
kelangkaan minyak goreng yang sangat parah, walaupun Indonesia merupakan
salahsatu produsen minyak sawit terbesar di dunia, hal ini masih menyebabkan kelangkaan
didalam negeri sendiri
Sebagai
kesimpulan dari uraian diatas adalah minyak sawit digunakan sebagai campuran
biodiesel untuk kendaraan dan SAF bagi pesawat. Emisi karbon yang dikurangi
berada di rentang 20-30%. Secara kalkulasi, minyak sawit sebagai biodiesel menguntungkan
dari segi rasio emisi karbon dan harga pasaran serta pajak karbonnya. Akan tetapi
minyak sawit ini memiliki kekurangan dalam hal dampak lingkungan yang membutuhkan
lahan yang luas sehingga mengorbankan hutan dan seisinya. Selain itu, kelangkaan
bahan baku minyak sawit akan selalu menghantui apabila minyak sawit ini menjadi
opsi sebagai bahan bakar. Sehingga
minyak sawit sebagai biodiesel merupakan energi ramah lingkungan dan bersih tetapi
tidak berkelanjutan.
Referensi:
Anwar, M. (2022, 03 14). Daftar Alasan Minyak
Goreng Langka dan Mahal Versi Pemerintah. Retrieved from KOMPAS:
https://money.kompas.com/read/2022/03/14/115733726/daftar-alasan-minyak-goreng-langka-dan-mahal-versi-pemerintah?page=all
Auriga. (2019). Tipologi penguasaan lahan perkebunan
sawit di dalam kawasan hutan dan strategi penyelesaiannya,. Jakarta.
Elena, M. (2021, Oktober 8). Tarif Pajak Karbon dalam
RUU HPP Dinilai Rendah, Kalah Dibandingkan Singapura. Retrieved from
Ekonomi:
https://ekonomi.bisnis.com/read/20211008/259/1452182/tarif-pajak-karbon-dalam-ruu-hpp-dinilai-rendah-kalah-dibandingkan-singapura
Iswara, A. (2022, 04 05). KOMPAS. Retrieved from
Minyak Goreng Sukses Diuji Coba Jadi Bahan Bakar Pesawat Raksasa Airbus A380:
https://www.kompas.com/global/read/2022/04/05/163000370/minyak-goreng-sukses-diuji-coba-jadi-bahan-bakar-pesawat-raksasa-airbus?page=all
Kusumaningtyas, R. (2012). Sintesis Biodiesel Dari
Minyak Biji Karet Dengan Variasi Suhu dan Konsentrasi KOH untuk Tahapan
Transesterifikasi. . Semarang: Jurnal Bahan Alam Terbarukan.
Lubis, K. (2016). Pemetaan Dispersi Karbon Dioksida.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
PM, M. (2022, April 12). Ekonomi. Retrieved from
Kemenperin: Industri Dilarang Konsumsi Solar Bersubsidi:
https://ekonomi.bisnis.com/read/20220412/44/1522010/kemenperin-industri-dilarang-konsumsi-solar-bersubsidi#:~:text=Berdasakan%20data%20Sistem%20Informasi%20Industri,juta%20liter%20di%20tahun%202019.
Purwanta, W. (2016). Profil Emisi Gas Buang Dari Pesawat
Udara di Sejumlah Bandara di Indonesia. Tangeran: Pusat Teknologi
Lingkungan (PTL), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) .
Setyadji, M. (2007). Pengaruh Penambahan Biodiesel Dari
Minyak Jelantah Pada Solar Terhadap Opasitas dan Emisi Gas Buang CO, CO2 dan
HC. Yogyakarta: Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN.
Supraniningsih, J. (2012). Pengembangan Kelapa Sawit
sebagai Biofuel dan Produksi Minyak Sawit Serta Hambatannya. Jakarta:
Universitas Darma Persada.
Susanti, A. (2019). Dilema Sawit: Antara Deforestasi dan
Nasib Petani. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Tobing, S. (2021, Juni 11). Mengenal Biosolar B30,
Bagaimana Pertamina. Retrieved from katadata.co.id:
https://katadata.co.id/sortatobing/berita/60c3301497d12/mengenal-biosolar-b30-bagaimana-pertamina-menyalurkannya